Rabu, 26 Desember 2007

BALI ROADMAP


Lima belas Desmber 2007 yang lalu konferensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) di Nusa Dua Bali, berakhir daramatis. Konferensi tingkat internasional ini sejatinya diharapkan menghasilkan sebuah kesepakatan seluruh peserta untuk menyelamatkan bumi dari bahaya efek rumah kaca. Bumi “terancam” tenggelam oleh pemanasan global dengan mencairnya es di kutub utara dan selatan.

Bukan itu saja bahayanya, laporan yang dirilis oleh Human Development Report 2007/2008 “Fighting Climate Change : Human Solidarity in a Devided World” menyebutkan bahwa pemanasan global akan : pertama, merusak produksi pertanian dan security food, kedua kelangkaan air, ketiga hancurnya ekosistem dan keragaman hayati.

Setelah berunding selama dua minggu dan molor sehari, para delegasi dari 190 negara akhirnya menyetujui konsensus untuk menekan laju perubahan iklim dalam dokumen “Bali Roadmap” . Seperi kita ketahui bahwa “Bali Roadmap” tidak menghasilkan statemen tegas tentang besaran pengurangan emisi energi (penyebab utama pemanasan global) dalam jangka waktu tertentu. Hal ini karena AS dan negara maju lainnya menolak dengan tegas usulan angka pasti yang mengikat pengurangan emisi industri mereka antara 25-40% hingga tahun 2020 nanti.

Komprominya, Bali Roadmap hanya menegaskan kewajiban negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang “terkuantifikasi”. Target angka pengurangan emisi secara jelas seperti yang dituntut bukti-bukti sains dan kepentingan kemanusiaanpun akhirnya tergusur dan bahkan hanya menjadi catatan kaki. Sungguh sangat tragis. Bahaya pemanasan global telah nyata kita rasakan, namun upaya pencegahan terganjal oleh sikap “angkuh” serta dominannya AS dan negara maju lainnya terhadap negara-negara berkembang. Banyak kalangan akhirnya menilai bahwa Konferensi Bali “gagal”.

Jelas, ini adalah keangkuhan AS dan negara-negara maju lainnya. AS dan negara-negara maju lainnya tidak mau kepentingan politik dan ekonominya “terkurangi”. Sebab jika mereka sepakat mengurangi emisi karbon mereka, maka “bencana” mungkin akan dialami oleh AS dan negara-negara maju lainnya. Sebab industri-industri merekalah penyumbang utama emisi karbon dunia. Jika mereka sepakat mengurangi emisi karbon, berarti mereka setuju mengurangi jumlah industri mereka atau mengurangi jumlah produksi mereka. Mereka tentu tidak mau, karena penopang utama perekonomian mereka adalah sektor industri. Menurut data terakhir (2007) UNDP, karbon emisi perkapita dunia saat ini adalah 4,5. Dari angka tersebut ternyata AS menyumbang 20,6, Kanada 20, Australia 16,2 dan Jepang 9,9. Baru sisa kecilnya disumbang oleh negara-negara berkembang. Sungguh ironis. AS dan negara-negara maju lainnya adalah penyumbang terbesar emisi karbon. Namun mereka menolak menguranginya.

Jelas, Konferensi Bali sejatinya untuk kepentingan AS dan negara-negara maju, baik hasilnya maupun keputusan turunannya. Ailun (Green peace China) menegaskan bahwa negara-negara berkembang datang ke Bali dengan usulan jelas. Tetapi yang mereka dapatkan hanyalah “strategi kotor” dari AS dan negara maju yang menantang semua bahasan, terutama terkait dengan jutaan umat manusia yang telah menderita akibat perubahan cuaca. Amerikalah sesungguhnya yang berperan di Bali (Okezone 16/12)

(Ditulis Susilo Wirawan disarikan dari Dakwah Al Islam edisi 384XIV)

Tidak ada komentar:

keluargaku bahagia daffa anakku shooting
Free chat widget @ ShoutMix
bayi muah.. bayi aktus Action di Lap Simpanglima lagi ngajar